Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alamnya, terlebih lagi letaknya yang setrategis mengakibatkan Indonesia menjadi negara yang sangat di-incar oleh negara-negara industri bahkann sejak sebelum kemerdekaan kita sudah di-incar. Oleh karena itu kita sebagai pemilik dari negara yang kaya ini memiliki kewajiban untuk mengurusi berbagai permasalahan didalamnya, salah satunya adalah tentang sumber daya manusia kita.
Terlebih lagi akibat jaman yang terus berkembang kendala jarak, ruang dan waktu tidak membatasi arus informasi dan globalisasi, sehingga kita dihadapkan pada sebuah permasalahan yang sudah dekat yaitu MEA ( Masyarakat Ekonomi Asean ). Dalam menghadapi MEA kita dituntut untuk menjadi masyarakat yang tidak hanya pintar, tetapi harus menjadi pintar-pintar. Jadi mari kita siapkan diri untuk menghadapi MEA ? Sudahkah kita siap ?
Berikut Berita dari Derektorat Jenderal Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pertanian agar menjadi pertimbangan bagi kita untuk lebih bersiap lagi dalam menghadapi MEA :
ASEAN Economic Community atau yang biasa disebut masyarakat ekonomi ASEAN yang akan diberlakukan pada tanggal 31 Desember 2015 berarti hanya tinggal 20 hari lagi. Banyak pertanyaan, hambatan dan tantangan yang membayang di benak para pelaku usaha pertanian dalam menghadapi kerjasama ini. Minimnya informasi dan sosialisasi yang dilakukan oleh Pemerintah menimbulkan keragu-raguan bahkan pesimisme dalam menghadapi MEA.
Ketidak siapan sumber daya manusia, infrastruktur maupun regulasi yang tegas merupakan alasan bagi sebagian besar pelaku usaha untuk merasa tidak siap untuk bersaing secara terbuka dalam era pasar bebas ASEAN tersebut. Untuk lebih meyakinkan diri, ada baiknya kita bahas peluang dan tantangan di AEC 2015:
I. Peluang AEC 2015
Pembentukan AEC akan memberikan peluang bagi negara-negara anggota ASEAN untuk memperluas cakupan skala ekonomi, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi, meningkatkan daya tarik sebagai tujuan bagi investor dan wisatawan, mengurangi biaya transaksi perdagangan, serta memperbaiki fasilitas perdagangan dan bisnis. Di samping itu, pembentukan AEC juga akan memberikan kemudahan dan peningkatan akses pasar intra-ASEAN serta meningkatkan transparansi dan mempercepat penyesuaian peraturan- peraturan dan standardisasi domestik.
Beberapa potensi Indonesia untuk merebut persaingan AEC 2015, antara lain:
Indonesia merupakan pasar potensial yang memiliki luas wilayah dan jumlah penduduk yang terbesar di kawasan (40% dari total penduduk ASEAN). Hal ini dapat menjadikan Indonesia sebagai negara ekonomi yang produktif dan dinamis yang dapat memimpin pasar ASEAN di masa depan dengan kesempatan penguasaan pasar dan investasi.
Indonesia merupakan negara tujuan investor ASEAN. Proporsi investasi negara ASEAN di Indonesia mencapai 43% atau hampir tiga kali lebih tinggi dari rata-rata proporsi investasi negara-negara ASEAN yaitu hanya sebesar 15% di kawasan intra-ASEAN.
Indonesia berpeluang menjadi negara pengekspor, dimana nilai ekspor Indonesia ke intra-ASEAN hanya 18-19% sedangkan ke luar ASEAN berkisar 80-82% dari total ekspornya, Hal ini berarti peluang untuk meningkatkan ekspor ke intra-ASEAN masih harus ditingkatkan agar laju peningkatan ekspor ke intra-ASEAN berimbang dengan laju peningkatan impor dari intra-ASEAN.
Liberalisasi perdagangan barang ASEAN akan menjamin kelancaran arus barang untuk pasokan bahan baku maupun bahan jadi di kawasan ASEAN karena hambatan tarif dan non-tarif sudah tidak ada lagi. Kondisi pasar yang sudah bebas di kawasan dengan sendirinya akan mendorong pihak produsen dan pelaku usaha lainnya untuk memproduksi dan mendistribusikan barang yang berkualitas secara efisien sehingga mampu bersaing dengan produk-produk dari negara lain. Di sisi lain, para konsumen juga mempunyai alternatif pilihan yang beragam yang dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan, dari yang paling murah sampai yang paling mahal. Indonesia sebagai salah satu negara besar yang juga memiliki tingkat integrasi tinggi di sektor elektronik dan keunggulan komparatif pada sektor berbasis sumber daya alam, berpeluang besar untuk mengembangkan industri di sektor-sektor tersebut di dalam negeri.
Indonesia sebagai negara dengan jumlah populasi terbesar akan memperoleh keunggulan tersendiri, yang disebut dengan bonus demografi. Perbandingan jumlah penduduk produktif Indonesia dengan negara-negara ASEAN lain adalah 38:100, yang artinya bahwa setiap 100 penduduk ASEAN, 38 adalah warga negara Indonesia. Bonus ini diperkirakan masih bisa dinikmati setidaknya sampai dengan 2035, yang diharapkan dengan jumlah penduduk yang produktif akan mampu menopang pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita penduduk Indonesia.
II. Tantangan AEC 2015
Untuk dapat menangkap keuntungan dari AEC 2015 tantangan yang dihadapi Indonesia adalah meningkatkan daya saing. Faktor-faktor untuk meningkatkan daya saing, yang masih menjadi tantangan bagi Indonesia, yakni:
• Infrastruktur
Berdasarkan The Global Competitiveness Report 2013/2014 yang dibuat oleh World Economic Forum (WEF), daya saing Indonesia berada pada peringkat ke-38. Sementara itu kualitas infrastruktur Indonesia menempati peringkat ke-82 dari 148 negara atau berada pada peringkat ke-5 diantara negara-negara inti ASEAN. Hal ini menunjukkan bahwa infrastruktur Indonesia masih jauh tertinggal.
Beberapa infrastruktur yang harus disiapkan Indonesia menjelang AEC 2015, antara lain: darat, berupa jejaring jalan ASEAN dan jalur rel kereta Kunming-Singapura; laut, berupa jejaring perhubungan laut; udara, berupa jalur pengiriman udara; teknologi informasi, berupa jaringan komunikasi; dan energi, berupa keamanan energi
Beberapa infrastruktur yang telah dibangun, meliputi: penataan pelabuhan Tanjung Priok; pembangunan bandara internasional Lombok Praya dengan rute internasional Malaysia, Singapura, Australia, dan Hongkong (menyusul); Sabuk Selatan Nusantara yang menghubungkan 16 pulau dari Sabang sampai Merauke (5.330 km jalan dan 1.600 km jalur laut) dan Sabuk Tengah Nusantara sepanjang 3.800 km yang menghubungkan 12 provinsi dari Sumatra Selatan hingga Papua Barat.
Beberapa infrastruktur yang belum dibangun atau masih dalam tahap penyelesaian, yakni: Indonesia mengajukan perpanjangan jalur kereta Kunming-Singapura hingga ke Surabaya; rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda (diproyeksikan rampung 2025); dan Sabuk Utara Nusantara diproyeksikan rampung pada 2015.
Pembangunan infrastruktur yang rendah di Indonesia, dipengaruhi oleh beberapa faktor penghambat, yakni:
Anggaran infrastruktur yang rendah, hanya 2,5% dari PDB, dimana jumlah ini tidak dapat mengakomodir biaya pembebasan lahan dan biaya feasibility study serta AMDAL yang kerap muncul dalam pembangunan infrastruktur.
Konflik kepentingan, seperti politik, bisnis, atau pesanan pihak-pihak tertentu dalam pembangunan infrastruktur.
Koordinasi yang sulit, jika merujuk area pembangunan infrastruktur terkait dengan hutan lindung atau pertanian dimana koordinasi antara lintas kementerian dan lintas otoritas sulit dilakukan.
• Biaya Logistik
Dampak dari rendahnya infrastruktur berpengaruh pada semakin mahalnya biaya logistik di Indonesia. Perdagangan menjadi kurang efisien mengingat biaya logistik yang mahal dibandingkan negara anggota ASEAN lainnya, yang dibebankan sebesar 14,08%, jika dibandingkan dengan biaya logistik yang wajar sebesar 7%.
Berdasarkan Logistic Performance Index (LPI, 2012), Indonesia menempati peringkat ke-59 dari 155 negara, di bawah peringkat Thailand, Filipina, dan Vietnam.
Dengan pengurangan biaya logistik, maka permasalahan dalam bidang perdagangan diharapkan dapat teratasi sehingga menaikkan daya saing Indonesia.
• Sumber Daya Manusia
Bonus demografi yang dimiliki Indonesia, tidak akan memberikan keuntungan apa pun tanpa adanya perbaikan kualitas SDM. Data dari ASEAN Productivity Organization (APO) menunjukkan dari 1000 tenaga kerja Indonesia hanya ada sekitar 4,3% yang terampil, sedangkan Filipina 8,3%, Malaysia 32,6%, dan Singapura 34,7%.
Berdasarkan struktur pasar, tenaga kerja didominasi oleh pekerja lulusan SD (80%) sementara lulusan Perguruan Tinggi hanya 7%, dimana saat ini sebagian dunia kerja mensyaratkan lulusan Perguruan Tinggi. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan Malaysia yang sebagian besar penduduknya lulusan S1.
Kesempatan memperoleh pendidikan secara merata di seluruh Indonesia sulit dilakukan sehingga kesadaran untuk menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sangat rendah. Kondisi ini mengakibatkan tenaga kerja Indonesia hanya dilirik sebagai buruh atau tenaga kerja kasar di pasar tenaga kerja internasional.
• UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah)
Dari delapan aturan kunci (golden rules) peringkat kompetitif dunia yang dikeluarkan oleh International Institute for Management Development (IMD), salah satunya adalah dukungan terhadap UMKM. Pada masa krisis moneter, UMKM mampu bertahan dan terus berkembang, hal tersebut dapat memberikan peluang peningkatan daya saing. Namun demikian, UMKM masih berada pada area kurang diperhatikan oleh pemerintah. Ketiadaan pendampingan dari pemerintah untuk menstandarkan produk lokal dan menginternasionalkan UMKM, membuat UMKM sulit bersaing dan kalah pada pasar lokal. Keanekaragaman yang dimiliki UMKM Indonesia berpeluang untuk membentuk pasar ASEAN, salah satu contohnya adalah kerajinan tangan, furniture, makanan daerah, dan industri lainnya.
• Pertanian
Salah satu jantung perekonomian Indonesia adalah pertanian. Peningkatan keunggulan komparatif di sektor prioritas integrasi, antara lain adalah pembangunan pertanian perlu terus dilakukan, mengingat bahwa luas daratan yang dimiliki Indonesia lebih besar dan tingkat konsumsi yang tinggi terhadap hasil pertanian. Oleh sebab itu, pertanian harus menjadi perhatian khusus Pemerintah Indonesia dalam menghadapi AEC ini.
Tindakan pemerintah untuk menopang komitmen Indonesia dalam mewujudkan AEC 2015 melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, dipandang hanya akan memberikan keuntungan bagi pihak-pihak tertentu, bukan petani Indonesia. Perpres tersebut mengatur mengenai:
Investasi asing diperbolehkan hingga 49% untuk usaha budidaya tanaman pangan seluas lebih dari 25 hektar.
Investasi asing diperbolehkan hingga 95% untuk usaha perkebunan dalam hal perbenihan bagi usaha seluas lebih dari 25 hektar.
Investasi asing diperbolehkan hingga 30% untuk usaha perbenihan dan budidaya hortikultura
Melihat bahwa sektor pertanian masih tertinggal dan dibebani volume impor komoditas pangan dan hortikultura; kegagalan panen akibat kemarau dan gangguan hama; serta petani Indonesia rata-rata berusia 55-60 tahun dan tidak memiliki pengetahuan dan pendidikan yang memadai akan menyulitkan memasuki pasar bebas ASEAN.
Indonesia dengan populasi luas kawasan dan ekonomi terbesar di ASEAN dapat menggerakan pemerintah untuk lebih tanggap terhadap kepentingan nasional khususnya pertanian. Untuk itu, Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian perlu mengambil langkah-langkah:
Menghitung kesiapan dan daya dukung nasional dalam menghadapi pasar bebas ASEAN. Untuk itu Perpres No.39/2014 perlu dievaluasi mengingat sangat merugikan petani Indonesia.
Mendongkrak kapasitas produksi, kualitas pengetahuan dan permodalan agar Indonesia tidak bergantung pada impor.
Menyiapkan perlindungan bagi petani dengan penetapan tarif maksimal untuk produk impor.
Menyediakan subsidi dan pengadaan kredit lunak bagi petani guna meningkatkan kemampuan mereka memasok kebutuhan pertanain seperti benih dan pupuk.
Nah, sekarang dengan lebih mengetahui apa saja yang menjadi tantangan para pelaku usaha pertanian, kita bisa lebih mempersiapkan diri dalam menghadapi AEC. Kedepan, penguatan pertanian dalam negeri akan memberikan keunggulan kompetitif dibandingkan negara ASEAN lainnya. Sampai jumpa di edisi Desk MEA berikutnya!
Berikut Berita dari Derektorat Jenderal Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pertanian agar menjadi pertimbangan bagi kita untuk lebih bersiap lagi dalam menghadapi MEA :
Peluang dan Tantangan Indonesia Sambut MEA 2015
Ketidak siapan sumber daya manusia, infrastruktur maupun regulasi yang tegas merupakan alasan bagi sebagian besar pelaku usaha untuk merasa tidak siap untuk bersaing secara terbuka dalam era pasar bebas ASEAN tersebut. Untuk lebih meyakinkan diri, ada baiknya kita bahas peluang dan tantangan di AEC 2015:
I. Peluang AEC 2015
Pembentukan AEC akan memberikan peluang bagi negara-negara anggota ASEAN untuk memperluas cakupan skala ekonomi, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi, meningkatkan daya tarik sebagai tujuan bagi investor dan wisatawan, mengurangi biaya transaksi perdagangan, serta memperbaiki fasilitas perdagangan dan bisnis. Di samping itu, pembentukan AEC juga akan memberikan kemudahan dan peningkatan akses pasar intra-ASEAN serta meningkatkan transparansi dan mempercepat penyesuaian peraturan- peraturan dan standardisasi domestik.
Beberapa potensi Indonesia untuk merebut persaingan AEC 2015, antara lain:
Indonesia merupakan pasar potensial yang memiliki luas wilayah dan jumlah penduduk yang terbesar di kawasan (40% dari total penduduk ASEAN). Hal ini dapat menjadikan Indonesia sebagai negara ekonomi yang produktif dan dinamis yang dapat memimpin pasar ASEAN di masa depan dengan kesempatan penguasaan pasar dan investasi.
Indonesia merupakan negara tujuan investor ASEAN. Proporsi investasi negara ASEAN di Indonesia mencapai 43% atau hampir tiga kali lebih tinggi dari rata-rata proporsi investasi negara-negara ASEAN yaitu hanya sebesar 15% di kawasan intra-ASEAN.
Indonesia berpeluang menjadi negara pengekspor, dimana nilai ekspor Indonesia ke intra-ASEAN hanya 18-19% sedangkan ke luar ASEAN berkisar 80-82% dari total ekspornya, Hal ini berarti peluang untuk meningkatkan ekspor ke intra-ASEAN masih harus ditingkatkan agar laju peningkatan ekspor ke intra-ASEAN berimbang dengan laju peningkatan impor dari intra-ASEAN.
Liberalisasi perdagangan barang ASEAN akan menjamin kelancaran arus barang untuk pasokan bahan baku maupun bahan jadi di kawasan ASEAN karena hambatan tarif dan non-tarif sudah tidak ada lagi. Kondisi pasar yang sudah bebas di kawasan dengan sendirinya akan mendorong pihak produsen dan pelaku usaha lainnya untuk memproduksi dan mendistribusikan barang yang berkualitas secara efisien sehingga mampu bersaing dengan produk-produk dari negara lain. Di sisi lain, para konsumen juga mempunyai alternatif pilihan yang beragam yang dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan, dari yang paling murah sampai yang paling mahal. Indonesia sebagai salah satu negara besar yang juga memiliki tingkat integrasi tinggi di sektor elektronik dan keunggulan komparatif pada sektor berbasis sumber daya alam, berpeluang besar untuk mengembangkan industri di sektor-sektor tersebut di dalam negeri.
Indonesia sebagai negara dengan jumlah populasi terbesar akan memperoleh keunggulan tersendiri, yang disebut dengan bonus demografi. Perbandingan jumlah penduduk produktif Indonesia dengan negara-negara ASEAN lain adalah 38:100, yang artinya bahwa setiap 100 penduduk ASEAN, 38 adalah warga negara Indonesia. Bonus ini diperkirakan masih bisa dinikmati setidaknya sampai dengan 2035, yang diharapkan dengan jumlah penduduk yang produktif akan mampu menopang pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita penduduk Indonesia.
II. Tantangan AEC 2015
Untuk dapat menangkap keuntungan dari AEC 2015 tantangan yang dihadapi Indonesia adalah meningkatkan daya saing. Faktor-faktor untuk meningkatkan daya saing, yang masih menjadi tantangan bagi Indonesia, yakni:
• Infrastruktur
Berdasarkan The Global Competitiveness Report 2013/2014 yang dibuat oleh World Economic Forum (WEF), daya saing Indonesia berada pada peringkat ke-38. Sementara itu kualitas infrastruktur Indonesia menempati peringkat ke-82 dari 148 negara atau berada pada peringkat ke-5 diantara negara-negara inti ASEAN. Hal ini menunjukkan bahwa infrastruktur Indonesia masih jauh tertinggal.
Beberapa infrastruktur yang harus disiapkan Indonesia menjelang AEC 2015, antara lain: darat, berupa jejaring jalan ASEAN dan jalur rel kereta Kunming-Singapura; laut, berupa jejaring perhubungan laut; udara, berupa jalur pengiriman udara; teknologi informasi, berupa jaringan komunikasi; dan energi, berupa keamanan energi
Beberapa infrastruktur yang telah dibangun, meliputi: penataan pelabuhan Tanjung Priok; pembangunan bandara internasional Lombok Praya dengan rute internasional Malaysia, Singapura, Australia, dan Hongkong (menyusul); Sabuk Selatan Nusantara yang menghubungkan 16 pulau dari Sabang sampai Merauke (5.330 km jalan dan 1.600 km jalur laut) dan Sabuk Tengah Nusantara sepanjang 3.800 km yang menghubungkan 12 provinsi dari Sumatra Selatan hingga Papua Barat.
Beberapa infrastruktur yang belum dibangun atau masih dalam tahap penyelesaian, yakni: Indonesia mengajukan perpanjangan jalur kereta Kunming-Singapura hingga ke Surabaya; rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda (diproyeksikan rampung 2025); dan Sabuk Utara Nusantara diproyeksikan rampung pada 2015.
Pembangunan infrastruktur yang rendah di Indonesia, dipengaruhi oleh beberapa faktor penghambat, yakni:
Anggaran infrastruktur yang rendah, hanya 2,5% dari PDB, dimana jumlah ini tidak dapat mengakomodir biaya pembebasan lahan dan biaya feasibility study serta AMDAL yang kerap muncul dalam pembangunan infrastruktur.
Konflik kepentingan, seperti politik, bisnis, atau pesanan pihak-pihak tertentu dalam pembangunan infrastruktur.
Koordinasi yang sulit, jika merujuk area pembangunan infrastruktur terkait dengan hutan lindung atau pertanian dimana koordinasi antara lintas kementerian dan lintas otoritas sulit dilakukan.
• Biaya Logistik
Dampak dari rendahnya infrastruktur berpengaruh pada semakin mahalnya biaya logistik di Indonesia. Perdagangan menjadi kurang efisien mengingat biaya logistik yang mahal dibandingkan negara anggota ASEAN lainnya, yang dibebankan sebesar 14,08%, jika dibandingkan dengan biaya logistik yang wajar sebesar 7%.
Berdasarkan Logistic Performance Index (LPI, 2012), Indonesia menempati peringkat ke-59 dari 155 negara, di bawah peringkat Thailand, Filipina, dan Vietnam.
Dengan pengurangan biaya logistik, maka permasalahan dalam bidang perdagangan diharapkan dapat teratasi sehingga menaikkan daya saing Indonesia.
• Sumber Daya Manusia
Bonus demografi yang dimiliki Indonesia, tidak akan memberikan keuntungan apa pun tanpa adanya perbaikan kualitas SDM. Data dari ASEAN Productivity Organization (APO) menunjukkan dari 1000 tenaga kerja Indonesia hanya ada sekitar 4,3% yang terampil, sedangkan Filipina 8,3%, Malaysia 32,6%, dan Singapura 34,7%.
Berdasarkan struktur pasar, tenaga kerja didominasi oleh pekerja lulusan SD (80%) sementara lulusan Perguruan Tinggi hanya 7%, dimana saat ini sebagian dunia kerja mensyaratkan lulusan Perguruan Tinggi. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan Malaysia yang sebagian besar penduduknya lulusan S1.
Kesempatan memperoleh pendidikan secara merata di seluruh Indonesia sulit dilakukan sehingga kesadaran untuk menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sangat rendah. Kondisi ini mengakibatkan tenaga kerja Indonesia hanya dilirik sebagai buruh atau tenaga kerja kasar di pasar tenaga kerja internasional.
• UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah)
Dari delapan aturan kunci (golden rules) peringkat kompetitif dunia yang dikeluarkan oleh International Institute for Management Development (IMD), salah satunya adalah dukungan terhadap UMKM. Pada masa krisis moneter, UMKM mampu bertahan dan terus berkembang, hal tersebut dapat memberikan peluang peningkatan daya saing. Namun demikian, UMKM masih berada pada area kurang diperhatikan oleh pemerintah. Ketiadaan pendampingan dari pemerintah untuk menstandarkan produk lokal dan menginternasionalkan UMKM, membuat UMKM sulit bersaing dan kalah pada pasar lokal. Keanekaragaman yang dimiliki UMKM Indonesia berpeluang untuk membentuk pasar ASEAN, salah satu contohnya adalah kerajinan tangan, furniture, makanan daerah, dan industri lainnya.
• Pertanian
Salah satu jantung perekonomian Indonesia adalah pertanian. Peningkatan keunggulan komparatif di sektor prioritas integrasi, antara lain adalah pembangunan pertanian perlu terus dilakukan, mengingat bahwa luas daratan yang dimiliki Indonesia lebih besar dan tingkat konsumsi yang tinggi terhadap hasil pertanian. Oleh sebab itu, pertanian harus menjadi perhatian khusus Pemerintah Indonesia dalam menghadapi AEC ini.
Tindakan pemerintah untuk menopang komitmen Indonesia dalam mewujudkan AEC 2015 melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, dipandang hanya akan memberikan keuntungan bagi pihak-pihak tertentu, bukan petani Indonesia. Perpres tersebut mengatur mengenai:
Investasi asing diperbolehkan hingga 49% untuk usaha budidaya tanaman pangan seluas lebih dari 25 hektar.
Investasi asing diperbolehkan hingga 95% untuk usaha perkebunan dalam hal perbenihan bagi usaha seluas lebih dari 25 hektar.
Investasi asing diperbolehkan hingga 30% untuk usaha perbenihan dan budidaya hortikultura
Melihat bahwa sektor pertanian masih tertinggal dan dibebani volume impor komoditas pangan dan hortikultura; kegagalan panen akibat kemarau dan gangguan hama; serta petani Indonesia rata-rata berusia 55-60 tahun dan tidak memiliki pengetahuan dan pendidikan yang memadai akan menyulitkan memasuki pasar bebas ASEAN.
Indonesia dengan populasi luas kawasan dan ekonomi terbesar di ASEAN dapat menggerakan pemerintah untuk lebih tanggap terhadap kepentingan nasional khususnya pertanian. Untuk itu, Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian perlu mengambil langkah-langkah:
Menghitung kesiapan dan daya dukung nasional dalam menghadapi pasar bebas ASEAN. Untuk itu Perpres No.39/2014 perlu dievaluasi mengingat sangat merugikan petani Indonesia.
Mendongkrak kapasitas produksi, kualitas pengetahuan dan permodalan agar Indonesia tidak bergantung pada impor.
Menyiapkan perlindungan bagi petani dengan penetapan tarif maksimal untuk produk impor.
Menyediakan subsidi dan pengadaan kredit lunak bagi petani guna meningkatkan kemampuan mereka memasok kebutuhan pertanain seperti benih dan pupuk.
Nah, sekarang dengan lebih mengetahui apa saja yang menjadi tantangan para pelaku usaha pertanian, kita bisa lebih mempersiapkan diri dalam menghadapi AEC. Kedepan, penguatan pertanian dalam negeri akan memberikan keunggulan kompetitif dibandingkan negara ASEAN lainnya. Sampai jumpa di edisi Desk MEA berikutnya!