Uni Eropa baru saja mengumumkan hasil studi penilaian tentang resiko mikrobiologi, kimia dan lingkungan oleh produksi dan konsumsi serangga sebagai bahan pangan dan pakan. Hasil studi itu mengisyaratkan peluang yang setara bagi pengembangan industri peternakan serangga dan hewan ternak konvensional.
Ini kabar baik bagi gagasan pengembangan peternakan industrial serangga untuk pangan dan pakan. Apalagi mengingat hingga sejauh ini makan serangga belumlah merupakan kebiasaan masyarakat Barat. Budaya makan serangga (entomophagy) tersebar di benua Amerika, Asia, Afrika dan Australia. PBB sudah menganjurkan pengembangan serangga sebagai bahan pangan. Badan Pangan dan Pertanian PBB (UNFAO) sudah sejak tahun 2003 bekerja meningkatkan kesadaran makan serangga karena dinilai memiliki manfaat kesehatan, lingkungan dan kehidupan sosial dan ekonomi.
Studi Uni yang dilakukan oleh European Food Safety Authority (EFSA) itu merupakan tinjuan mendalam terhadap literatur ilmiah dan informasi dari pihak kompeten terkait. Laporan hasil studi yang disiarkan awal Oktober 2015 menyimpulkan bahwa dengan penggunaan bahan pakan yang dibolehkan, maka resiko mikrobiologi peternakan serangga dan hewan lain akan sama saja. Setiap cara produksi, bahan pakan, tahap panen, spesies serangga maupun cara pengolahan menimbulkan dampak sendiri secara biologis dan kimia. Potensi bahaya serangga peliharaan yang tidak berbeda dengan pada hewan lain. Resiko lingkungan peternakan serangga juga dinilai sebanding dengan pada hewan lain.
Hasil studi itu mencatat belum ada data tentang hewan dan konsumsi serangga oleh manusia yang terhimpun secara sistematis. Studi tentang mikroba patogen potensial vertebrata maupun bahan kimia berbahaya pada serangga yang dipelihara juga masih sedikit. Oleh sebab itu dianjurkan riset lebih lanjut untuk penilaian resiko mikrobiolgi dan kimia dari serangga sebagai makanan dan pakan.
Kampanye makan serangga kini banyak dikaitkan dengan kebutuhan pemenuhan ketahanan pangan bagi penduduk bumi yang terus bertambah dalam kondisi lahan (tanah) dan air pertanian yang semakin langka serta menangkal dampak pemanasan global dan perubahan iklim.
Ada sejumlah alasan kuat untuk menggugah semangat makan serangga atau produknya. Di antaranya, kebutuhan lahan peternakan untuk serangga jauh lebih hemat dibanding hewan ruminansia dan unggas. Konversi pakan menjadi protein lebih efisien pada serangga dibanding hewan ternak lain. Selain itu, emisi gas rumahkaca serangga jauh lebih kecil dibanding kebanyakan hewan ternak konvensional. Konsumsi serangga merupakan salah satu cara yang paling aman dan sehat untuk mengendalikan serangga pengganggu. Dan tidak pula kurang penting bahwa peternakan serangga merupakan sumber pendapatan baru dan lapangan kerja.
FAO dalam laporan hasil studi berjudul “Edible Insects, Futture Prospect for Food and Feed Security” (2013) menekankan pengembangan entomophagy dilakukan dengan tiga alasan, yakni kesehatan, lingkungan dan kehidupan ekonomi dan sosial.
Dari segi kesehatan, serangga dinilai merupakan alternatif bergizi terhadap pangan hewani pokok utama seperti daging ayam, sapi, babi dan ikan. Banyak serangga yang kaya protein, lemak baik, kalsium, besi dan seng.
Dari segi lingkungan, selain emisi gas rumah kaca lebih sedikit dibanding ternak lain, serangga sangat hemat pakan karena konversi sangat efisien. Untuk menghasilkan jumlah protein yang sama, jangkrik butuh pakan 12 kali lebih sedikit dibanding sapi, 4 kali lebih sedikit dibanding domba, dan setengah dari kebutuhan babi dan ayam pedaging. Pakan serangga mudah-murah, cukup dari limbah organik. Tambahan lagi, usaha peternakan serangga tidak mesti berbasis tanah, pengerjaan tanah tidak perlu.
Dari segi ekonomi dan sosial, peternakan serangga sangat terbuka bagi semua termasuk warga yang paling miskin dan yang tidak memiliki tanah. Ini karena teknologinya bisa rendah bila modal kecil, walaupun bisa canggih bila investasi besar. Peternakan mini serangga sekalipun bisa memberi peningkatan pendapatan bagi warga desa maupun kota.
Hasil studi FAO tersebut mencatat paling sedikit 2 miliar penduduk bumi memakan serangga secara teratur. Jenis serangga yang dapat dimakan tecatat sudah lebih dari 1.900 spesies. Jenis utama yang biasa dikonsumsi adalah kumbang (ordo Coleoptera) dengan pangsa 31%. Menyusul kupu-kupu dan ngengat (Lepidoptera) 18%, lebah, tawon, semut (Hymenoptera) 14%, belalang, uir-uir, jangkrik (Othoptera) 13% dan cicadas, wereng, scale insects, kutu (true bugs) (Hemiptera) 10%. Urutan berikutnya adalah termites (Isoptera) 3%, dragonflies (Odonta) 3%, nyamuk (Diptera) 2%, dan seterusnya.
Coleoptera dikonsumsi dalam bentuk dewasa maupun larva, Lepidoptera umumnya dikonsumsi dalam bentuk ulat, Hymenoptera kebanyakan dalam bentuk larva atau pupa. Sedangkan Orthoptera, Hemiptera, Isoptera kebanyakan dalam bentuk dewasa.
Dari orde Coleoptera yang paling populer adalah kumbang kelapa (Rynchophorus) yang tersebar di Afrika, Asia (termasuk Indonesia) dan Amerika Tengah dan Selatan. Lepidoptera yang paling populer di Afrika adalah ulat mopane (Imbrassa belina), sedangkan di Asia adalah ulat bambu (Omphisa fuscidentalis). Popularitas Hymenoptera dalam bentuk telur, larva atau pupa sebagai makanan tersebar di seluruh dunia. Di Asia terkenal makanan dari larva dan pula semut weaver (Polymachis dives). Konsumsi jenis-jenis Orthoptera meluas di seluruh dunia, di Asia yang populer meliputi jangkrik Gryllus bimaculatus, Teleogryllus occipitalis, T. mitratus dan Acheta domesticus, ada yang diternakkan khususnya di Thailand. Olson
Berita ini dikutip dari : Tabloid Sinar Tani
Ini kabar baik bagi gagasan pengembangan peternakan industrial serangga untuk pangan dan pakan. Apalagi mengingat hingga sejauh ini makan serangga belumlah merupakan kebiasaan masyarakat Barat. Budaya makan serangga (entomophagy) tersebar di benua Amerika, Asia, Afrika dan Australia. PBB sudah menganjurkan pengembangan serangga sebagai bahan pangan. Badan Pangan dan Pertanian PBB (UNFAO) sudah sejak tahun 2003 bekerja meningkatkan kesadaran makan serangga karena dinilai memiliki manfaat kesehatan, lingkungan dan kehidupan sosial dan ekonomi.
Studi Uni yang dilakukan oleh European Food Safety Authority (EFSA) itu merupakan tinjuan mendalam terhadap literatur ilmiah dan informasi dari pihak kompeten terkait. Laporan hasil studi yang disiarkan awal Oktober 2015 menyimpulkan bahwa dengan penggunaan bahan pakan yang dibolehkan, maka resiko mikrobiologi peternakan serangga dan hewan lain akan sama saja. Setiap cara produksi, bahan pakan, tahap panen, spesies serangga maupun cara pengolahan menimbulkan dampak sendiri secara biologis dan kimia. Potensi bahaya serangga peliharaan yang tidak berbeda dengan pada hewan lain. Resiko lingkungan peternakan serangga juga dinilai sebanding dengan pada hewan lain.
Hasil studi itu mencatat belum ada data tentang hewan dan konsumsi serangga oleh manusia yang terhimpun secara sistematis. Studi tentang mikroba patogen potensial vertebrata maupun bahan kimia berbahaya pada serangga yang dipelihara juga masih sedikit. Oleh sebab itu dianjurkan riset lebih lanjut untuk penilaian resiko mikrobiolgi dan kimia dari serangga sebagai makanan dan pakan.
AYO MAKAN SERANGGA!!
Kampanye makan serangga kini banyak dikaitkan dengan kebutuhan pemenuhan ketahanan pangan bagi penduduk bumi yang terus bertambah dalam kondisi lahan (tanah) dan air pertanian yang semakin langka serta menangkal dampak pemanasan global dan perubahan iklim.
Ada sejumlah alasan kuat untuk menggugah semangat makan serangga atau produknya. Di antaranya, kebutuhan lahan peternakan untuk serangga jauh lebih hemat dibanding hewan ruminansia dan unggas. Konversi pakan menjadi protein lebih efisien pada serangga dibanding hewan ternak lain. Selain itu, emisi gas rumahkaca serangga jauh lebih kecil dibanding kebanyakan hewan ternak konvensional. Konsumsi serangga merupakan salah satu cara yang paling aman dan sehat untuk mengendalikan serangga pengganggu. Dan tidak pula kurang penting bahwa peternakan serangga merupakan sumber pendapatan baru dan lapangan kerja.
FAO dalam laporan hasil studi berjudul “Edible Insects, Futture Prospect for Food and Feed Security” (2013) menekankan pengembangan entomophagy dilakukan dengan tiga alasan, yakni kesehatan, lingkungan dan kehidupan ekonomi dan sosial.
Dari segi kesehatan, serangga dinilai merupakan alternatif bergizi terhadap pangan hewani pokok utama seperti daging ayam, sapi, babi dan ikan. Banyak serangga yang kaya protein, lemak baik, kalsium, besi dan seng.
Dari segi lingkungan, selain emisi gas rumah kaca lebih sedikit dibanding ternak lain, serangga sangat hemat pakan karena konversi sangat efisien. Untuk menghasilkan jumlah protein yang sama, jangkrik butuh pakan 12 kali lebih sedikit dibanding sapi, 4 kali lebih sedikit dibanding domba, dan setengah dari kebutuhan babi dan ayam pedaging. Pakan serangga mudah-murah, cukup dari limbah organik. Tambahan lagi, usaha peternakan serangga tidak mesti berbasis tanah, pengerjaan tanah tidak perlu.
Dari segi ekonomi dan sosial, peternakan serangga sangat terbuka bagi semua termasuk warga yang paling miskin dan yang tidak memiliki tanah. Ini karena teknologinya bisa rendah bila modal kecil, walaupun bisa canggih bila investasi besar. Peternakan mini serangga sekalipun bisa memberi peningkatan pendapatan bagi warga desa maupun kota.
HASIL STUDI
Hasil studi FAO tersebut mencatat paling sedikit 2 miliar penduduk bumi memakan serangga secara teratur. Jenis serangga yang dapat dimakan tecatat sudah lebih dari 1.900 spesies. Jenis utama yang biasa dikonsumsi adalah kumbang (ordo Coleoptera) dengan pangsa 31%. Menyusul kupu-kupu dan ngengat (Lepidoptera) 18%, lebah, tawon, semut (Hymenoptera) 14%, belalang, uir-uir, jangkrik (Othoptera) 13% dan cicadas, wereng, scale insects, kutu (true bugs) (Hemiptera) 10%. Urutan berikutnya adalah termites (Isoptera) 3%, dragonflies (Odonta) 3%, nyamuk (Diptera) 2%, dan seterusnya.
Coleoptera dikonsumsi dalam bentuk dewasa maupun larva, Lepidoptera umumnya dikonsumsi dalam bentuk ulat, Hymenoptera kebanyakan dalam bentuk larva atau pupa. Sedangkan Orthoptera, Hemiptera, Isoptera kebanyakan dalam bentuk dewasa.
Dari orde Coleoptera yang paling populer adalah kumbang kelapa (Rynchophorus) yang tersebar di Afrika, Asia (termasuk Indonesia) dan Amerika Tengah dan Selatan. Lepidoptera yang paling populer di Afrika adalah ulat mopane (Imbrassa belina), sedangkan di Asia adalah ulat bambu (Omphisa fuscidentalis). Popularitas Hymenoptera dalam bentuk telur, larva atau pupa sebagai makanan tersebar di seluruh dunia. Di Asia terkenal makanan dari larva dan pula semut weaver (Polymachis dives). Konsumsi jenis-jenis Orthoptera meluas di seluruh dunia, di Asia yang populer meliputi jangkrik Gryllus bimaculatus, Teleogryllus occipitalis, T. mitratus dan Acheta domesticus, ada yang diternakkan khususnya di Thailand. Olson
Berita ini dikutip dari : Tabloid Sinar Tani
Belum ada tanggapan untuk "Berita Datang Dari Benua Barat " Manusia memiliki alternatif pangan yaitu Serangga ""
Posting Komentar
beri komentar yang membangun itu lebih baik